Bukittinggi- - Dilansir dari persatuanpewartaindonesia.com pada Rabu, (22/3/2023) bahwa terkait pemberitaan salah media (PS) tanggal (17/03/23) yang menyebutkan sebanyak 28 jemaah umrah yang rencananya akan berangkat tanggal 7 Januari 2023, terkatung-katung di Medan selama dua Minggu di Medan dan gagal berangkat Umroh.
Hal ini diceritakan oleh salah satu jema’ah umrah yang gagal berangkat, inisial (W) di kantor Pengadilan Negeri Jalan Veteran Bukittinggi pada Kamis (16/3/2023) bahwa bermula ia telah berangkat umrah melalui salah seorang Kepala Biro Cabang dari PT Patra Jaya Humairah yang beralamat di Tanjung Alam Agam atas nama ( V ).
Atas berita tersebut Pengacara Tergugat D menyatakan akan mensomasi wartawan dan media yang menyiarkan berita yang tidak berimbang serta menyudutkan kliennya, ujar Dafriyon, Rabu, (22/3/2023).
D menyebutkan bahwa menurut pemberitaan salah satu media (PS) yang wartawannya inisial (LS) dan (Kh) yang telah membuat berita tidak berimbang itu jelas melanggar kode etik jurnalis. Apalagi di dalam berita tersebut tidak menuliskan inisial. Kemudian menurutnya seakan-akan kliennya sudah menipu ke 28 jamaah yang tidak jadi berangkat pada tanggal (7/1/2023), ujarnya.
D dalam persatuanpewartaindonesia.com pada Rabu, (22/3/2023) juga menyatakan bahwa selaku pengacara Tergugat, berharap kepada wartawan yang bersangkutan untuk merubah isi berita dan membuat permohonan maaf melalui medianya. Sebab dalam satu minggu ini tidak ada jawaban saya selaku pengacara tergugat akan mensomasi media (PS). Nanti kita juga akan berkordinasi dengan ketua PWI, dan melapokan ke Polresta dengan tuduhan UU ITE, pungkasnya.
Menilik dari pemberitaan tentang media PS melanggar kode etik jurnalistik tentang nama tergugat harus memakai inisial itu tidaklah benar.
Demikian disampaikan salah satu praktisi hukum, Riyan Permana Putra, S.H., M.H. bahwa kecuali jika tergugat atau terdakwa melakukan asusila tindak pidana dan asusila anak dibawah umur baru bisa dibuatkan inisial, ini sesuai dengan UU Pers no 40 Tahun 1999.
Jadi jika ada yang menyatakan wajib menggunakan inisial itu sama sekali tidak benar, kecuali ia korban kekerasan seksual.
Ini berdasarkan Kode Etik Jurnalistiik (KEJ) 2006 yang berlaku nasional tidak mewajibkan penginisialan nama tersangka atau tertuduh kecuali bagi korban kekerasan seksual, atau terhadap pelaku kriminal yang masih berumur di bawah 16 tahun.
Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi: ”Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” dalam pasal ini hanya di khususkan inisial terhadap “korban kejahatan susila dan anak sebagai pelaku kejahatan”.
Dikatakannya, sehingga penulisan nama jelas dalam pemberitaan kami tidak melanggar, baik dari segi hukum maupun kode etik jurnalistik.
"Kami memandang bahwa sangat pantas untuk memberikan informasi yang jelas kepada publik mengenai identitas tersangka atau tergugat, terlebih tersangka/tergugat dalam wanprestasi atau perbuatan melawan hukum terhadap jamaah umrah dari masyarakat kecil yang telah bertahun-tahun menabung, supaya tidak menjadi pemberitaan yang tidak jelas, " pungkasnya.
Riyan menambahkan disisi lain, sebelum melaporkan beberapa media ke Polresta, katanya, seharusnya membuat hak jawab terlebih dahulu sesuai Undang-undang (UU) Pers nomor 40 tahun 1999 serta melaporkan ke Dewan Pers.
“Bila tidak dimuat hak jawabnya oleh media yang bersangkutan, biarkan Dewan Pers yang memutuskan apakah media itu menyalahi aturan atau tidak, ” katanya.
Selain itu, sambungnya, pihak kepolisian dalam menangani masalah pers, seharusnya mengacu kepada UU Pers dan MoU Dewan Pers dengan Kapolri.
“Karena masalah pemberitaan adalah Lex Specialist. Pihak kepolisian jangan sampai melabrak UU Pers dan MoU yg telah dibuat. Sebab nantinya akan dapat menimbulkan riak di kalangan jurnalis dan menambah masalah baru lagi, ” katanya.
LindaFang